Catatan: Aftonomi Infoshop hanya menerbitkan teks ini untuk orang-orang di seluruh Indonesia dan sekitarnya yang dapat mengerti bahasa Indonesia (Malaysia, Brunei, Timor Leste, dll) untuk dapat melihat apa yang terjadi, mempelajarinya, dan juga untuk dokumentasi.
I
Aku menari dalam kelam dunia ini, kawan.
Merayakan hidup dengan hasrat pemberontakan.
Berjanji dalam hati bahwa aku tak berhenti.
Melampaui diri sendiri dengan Amorfati.
-Pangalo!, lirik Menghidupi Hidup Sepenuhnya
Disini aku benar-benar tidak tau memulai awalan dan akhiran dari mana atas tulisan ini, mungkin aku tidak pernah memulainya dengan awalan dan akhiran atau memang menolak untuk memulainya dengan awalan dan akhiran. Awalan dan akhiran adalah ketiadaan yang bebas dari segala hal atau memang segala hal itu sendiri, bagiku tidak ada kehendak atas aku yang mengerti apalagi kalian yang diluar dari ke‘aku’an diriku. Inilah penegasan hidupku, melampaui kehendak apapun dengan semangat dionisyanku dan aku akan datang dengan kehancuran seperti nyala api yang berkobar didalam hatiku. Kita adalah bintang-bintang di malam hari yang penuh akan kegelapan dengan sebuah tabrakan yang indah kawan, maka nikmatilah!.
Tulisan ini tidak akan mengarah pada keyakinan, gagasan, dan keinginan apalagi keunikan kalian. Seperti biasa, semakin besar ruang generalisasi kita, semakin banyak pengecualian yang kita tinggalkan diluar. Ini mungkin sebuah tanggapan terhadap kecenderungan yang mungkin umum dalam kolektif anarkis di Yogyakarta atau aku hanya mengeneralisasi yang ada? Entalah, karena aku tak benar-benar peduli. Aku yakin kalian akan beranggapan aku sebagai seorang yang anti-kolektifis,ya silahkan saja. Karena aku tak benar menolak bentuk kolektif, organisasi atau apapun itu, selama kolektif atau organisasi tidak menjadi fetisisme kalian dan tidak meniadakan otonnomi individu. Penekananku adalah pada otonomi individu karena itu landasan dari Anarkisme, aku pikir kita harus kembali menggali konsep dari mutual aid-nya Kropotkin karena banyak dari beberapa para anarkis yang keliru mengartikan nya atau memang tidak pernah membacanya sama sekali. Asumsi keliru adalah ketika mutual aid-nya Kropotkin beranggapan keadaan alamiah manusia pada dasarnya baik ada rasa kasihan untuk tolong-menolong hingga terciptanya suatu kolektif, bagiku bukan itu melainkan hanya untuk kepentingan bertahan hidup, tak lebih dan tak kurang. Sebagaimana yang diterangkan Terrik Matahari dalam kritikan nya terhadap Bima Satria Putra yang berjudul, Primata, Evolusi, Anarki(sme) (Bagian 2, Habis).
“Menurut saya kalaupun ada syarat dari mutual aid yang diusulkan Kropotkin, yang pertama adalah adanya asosiasi otonom, kedua komunalisme, dengan begitu prinsip egalitarian bisa tercapai. Mutual aid tidak mungkin terjadi pada individu-individu atau kelompok yang tidak otonom dan setara, sehingga yang ada hanyalah kesukarelaan bukan keterpaksaan lewat aturan, kebijakan dan kesepakatan mengikat yang timpang, dll.”
Atau sebagaimana penjelasan Reyhard Rumbayan dalam buku -nya berjudul Mempersenjatai Imajinasi: Catatan Para Anarkis & Egois 2003-2010.
“Seseoramg dapat memberikan makna pada hidupnya sendiri hanya jika ia menghargai hidup secara umum. Artinya, ia harus menghargai hidup bersama dengan orang lainnya[….] Sebenarnya semua ini saling berkaitan karena nilai hidup seseorang akan bermakna hanya jika ia juga dapat menjadi jamak, dalam artian bahwa ‘aku’ dapat menjadi bermakna saat ia juga berarti ‘kami’.”
Dan akupun tak perlu menjelaskan panjang lebar apa yang aku maksud, kalian tentu akan memahaminya. Tulisan tanggapan seperti ini di kolektif anarkis cukup banyak jika kalian mau mencari teks-teksnya di beberapa web yang ada. Akankah ada yang tersinggung, merasa butthurt? Kalian yang butthurt tidak akan menjadikanl kemarahan sebagai alasan untuk tidak membaca teks ini sebagai bentuk untuk menentangnya, karena tak ada alasan apapun yang bisa menjadi pembenaran untuk diam.
II
“Aku bersamamu untuk menghancurkan tirani masyarakat yang ada, tapi ketika kau telah melakukannya dan mulai membangun lagi, maka aku akan menentang dan melampauimu.”-Renzo Novatore
Aku bukanlah seorang partisan yang aktif lagi disebuah kolektif Yogyakarta, aku yakin kalian yang didalam maupun diluar kolektif yang membaca pasti akan beranggapan akan ada permasalahan personal diantara kita. Tentu tidak, aku meyakini atas keunikan individu dan menolak atas penyeragaman dengan suatu ilusi ‘tujuan kita sama’, aku pikir buat apa kita masih bertahan dengan kepura-puraan di suatu kolektif yang memang sudah berbeda jauh dengan kita? Sudahilah kemunafikan itu dengan cara melampaui atau memberontak, bagiku hidup harus seperti itu. Walaupun aku juga tidak yakin dengan dikotomi itu.
Aku merasa aneh ketika upaya-upaya glorifikasi kalian setelah aku membaca wawancara kalian di beberapa media massa, atas siapa yang mendirikan kolektif dengan ditambah kata-kata manis kalian untuk mendapatkan legitimasi moralitas bagi siapa yang membacanya. Memuakkan, bagiku masalah moralitas bukanlah soal kebenaran apa yang telah kita lakukan dan nyatakan pada masyarakat. Melainkan keangkuhan atas moralitas tungal, ataupun universalitas. Kalian yang berusaha untuk beranjak dari belenggu moralitas dan mencanangkan otonomi dengan cara memberontak moralitas pada masyarakat yang nyatanya hanya terjebak pada moralitas itu sendiri. Meniadakan atau melampaui dalam upaya-upaya kalian untuk menglorifikasi diri terhadap siapa yang mendirikan kolektif. Aku dan kalian bukanlah seorang pelopor, insiator, apapun itu dengan katalain dari konsep-konsep vanguard. Upaya glorifikasi ini yang biasa dilakukan oleh para pengecut dan munafik, seperti kalian. Kolektif itu hadir hanya karena sebuah situasional bukanlah karena kita.
III
“Para Anarkis generasi awal pasca 1998 di Indonesia belajar dari para Leninis. Itu wajar. Yang tidak wajar itu ketika sampai sekarang para Anarkis masih menjadi Leninis”-Pam
Aku juga sedikit binggung dengan kepercayaan di beberapa kolektif anarkis atas konsep vanguard yang membuat kalian malas berpikir, percaya atas apa yang berdampak untuk memiskinkan inisiatif individu, yang hanya bias menunggu—menunggu sesuatu, menunggu seseorang untuk bertindak. Percaya atas ada yang akan datang untuk menyelamatkan kalian, suatu kekonyolan bagiku. Kalian yang mengklaim sebagai anarkis tak lebih dari seorang hipokrit anarkis yang menggunakan atribut anarkis tapi menggunakan metode Leninis.
Seperti yang dikatakan Jason McQuinn dalam essai-nya berjudul, Against Organizationalism: Anarchism as both Theory and Critique of Organization.
“Tak ada satupun dari hal ini yang mengejutkan sebagian besar kaum Anarkis, karena arus utama yang ditinggalkan secara eksplisit bersifat hierarkis, otoriter, dan statis sejak zaman Jacobin dan Revolusi Prancis”
Dan yang dikatakan Bob Black dalam eesai-nya berjudul, Wooden Shoes or Platform Shoes?: On the “Organizational Platform of the Libertarian Communists”.
“Sungguh luar biasa bahwa pada tahun 1926, para Anarkis ini tidak menganggap lebih penting dari pada segala sebab kelemahan internal seperti represi Negara yang mereka semua alami, atau pengaruh komunis yang telah mengalahkan dan mengasingkan mereka, atau kecenderungan dalam perkembangan kapitalis yang mengikis basis sosai Anarkisme.”
Aku tidak terlalu tau apa penyebab dari para anarkis ini yang masih menggunakan metode Leninis, yang tak bisa menjadikan anarkisme sebuah metode berpikir maupun bertindak revolusioner (aku cukup berat menulis kata revolusioner tapi yasudahlah, kalau bisa tidak perlu dibaca) atau ada lagi kekonyolan lain dari para anarkis yang pernah aku temui mereka menolak teori yang penting hadir disetiap konflik yang ada layaknya seorang martir, basis mereka selalu pada aksi langsung dan spontanitas yang penuh dengan kekeliruan mereka memahaminya. Lalu merasa bahwa beberapa kritikan dari luar tidak relevan karena orang yang mengkritik tidak ada dilokasi konflik dan kekonyolan lainnya dari orang lainnya adalah akan beranggapan mereka yang selau hadir di setiap konflik tanpa strategi apapun lebih baik ketimbang kami yang hanya mengkritik. Adalagi yang bersolidaritas yang didasari oleh rasa filantropis dari kelas menengah ngehe (aku juga tak bisa menafikan bahwa beberapa dari para anarkis merupakan dari kelas menengah, mereka berangkat dari scena music Punk termasuk aku sendiri).
Aku tidak menentang vanguard, tapi membencinya dan ingin menghancurkannya. Kalian tanpa menyadari bahwa vanguard itu sendiri yang akan mendominasi, yang akan menjadi pengembala dan kalian adalah para dombanya. Aku juga seorang domba—domba tanpa pengembala dan tidak membutuhkannya, aku adalah domba yang bisa melakukkan apapun atas kehendak bebas menuju ketiadaan kreatif-nya Max Stirner.
“Aku adalah ketiadaan, kau bukanlah sesuatu pun, kau bukanlah kata, kau bukan konsep bukan ide, kau lebih dari itu semua. Kau unik”-Max Stirner
Melihat betapa buruknya konsep vanguard adalah dalam kasus baru ini, ketika kalian yang selalu bersolidaritas untuk petani Kulon Progo melawan Angkasa Pura I dalam New Yogyakarta International Airport (NYIA) terkait dengan SG/PAG dan membuat pernyataan politis untuk menolak NYIA. Tetapi kalian ikut berpartisipasi dalam acara kesenian yang diadakan di Jogja National Museum (JNM) karena ajakan oranglain dan fenomena penyeragaman metode dalam kesenian. Kalian bahkan juga terjebak pada fenomena itu, tak jarang aku melihat ada event kesenian tentu ada nama kolektif kalian, karena ajakan kolektif lain dan takut untuk menolak ajakan itu karena rasa “ketidakenakan”.
“Kita dapat dan harus bekerja sama dengan kelompok dan kolektif lain, tetapi hanya atas dasar otonomi dan kepercayaan. Adalah tidak bijaksana dan tidak diinginkan untuk menuntut kelompok tertentu harus setuju dengan keputusan dari setiap kelompok lain. Selama demonstrasi, prinsip ini adalah fondasi filosofi ‘keseragaman taktik’. Begitu aneh bahwa kaum anarkis menuntut keragaman taktik di jalan tetapi kemudian dipaksa oleh seruan untuk ‘persatuan’ dalam koalisi besar ini. Bisakah kita melakukan yang lebih baik? Untungnya, kami bisa” –Curious George Brigade, sebuah kolektif anarkis yang berbasis di Queens, New York
Aku tak perlu membahas terlalu jauh, karena permasalahan ini sudah ada di tulisan oleh kawan anarkis kita dan dimuat di jurnal Amorfati edisi 3 pada tahun 2008 dengan judul Mengusik Apa Yang Tak Terusik: Introduksi mengenai Sanggama antara Feodalisme dan Seni di Jogjakarta.
IV
“Terkadang aku harus menghargai nilai-nilai kesendirian-ku dan kesepian adalah kekasih terbaik-ku”
Kalian yang ada dalam kolektif menggunakan topeng agar tampak selaras dengan yang lain nya yang sebenarnya menyimpan kebusukan dalam hatinya untuk kelak bisa berkuasa di dalamnya. Bagaimana bisa aku berkata seperti itu? Tak perlu keyakinan apapun, karena aku teringat ketika dari seorang partisan di kolektif itu aktif hingga sekarang mengatakan bahwa seseorang partisan lainnya mendominasi hingga terjadi kerenggangan di dalam kolektif, dan seorang partisan itupun sudah tak aktif lagi karena memiliki kesibukan lainnya, aku juga berharap bisa bertemu kembali dengan partisan yang sudah tidak aktif itu. Dan jauh dari itu ditengah maraknya ide-ide kolektif dari para anarkis, mental kerumunan ada di dalam diri kita yang seharusnya kita hancurkan dengan keunikan individu, bukan malah kita organisir untuk penyeragaman dalam suatu bentuk kolektif.
“Penghormatanku bagi Henry Miller, Max Stirner, Marquis de Sade, Theodore Kaczynski, Raoul Vaneigem, Guy Debord, Renzo Novatore, Alfredo M.Bonano, Nietzsche, dan anarkis individual maupun nilihis serta para kriminal dimanapun yang melakukan aksinya bukan demi uang, setiap orang yang pernah mencuri barang-barang atau apa pun ‘milik’-ku, semua kawan dan kekasih dimasa lampau, masa kini dan masa yang akan datang, mereka yang pernah kuhancurkan atau menghancurkan hatiku, menyemai atau mematahkan cintaku, Amofati Fatum Brutum.”